"1. Dari pengalaman empirik, Rasulullah tahu bahwa satu bulan hanyalah mungkin 29 atau 30 hari. 2. Hanya saja pengetahuan saat itu belum mampu menentukan prakiraan bulan mana saja yang 29 hari dan yang 30 hari...." (tdjamaluddin.wordpress)
Terlepas dari sadar atau tidak Profesor Thomas Djamaludin menuliskannya, statement diatas bisa mengarahkan pembaca pada pemahaman yang salah. Seolah olah Rasulullah memerintahkan ru'yat hilal karena ilmu astronomi yang belum memadai. Kalimat no 1 dan no 2 sama sama benar,.. tetapi bukan merupakan sebab akibat. Sungguh Rasulullah tidak kuno dalam ilmu Falak. Nabi yang mulia dan jauh dari sifat jumud, memerintahkan ru'yat adalah justru berkat pengetahuan beliau dan ilham yang mendalam mengenai hakikat pergerakan bulan dan matahari, bukan karena sain tek saat itu yang kuno. Bagaimana penjelasannya?
Lantas kenapa tetap diperintah untuk ru'yatul hilal? Beberapa fakta astronomi memberikan jawaban sebagai berikut:
1. Untuk wilayah bujur yang sama, ijtimak terjadi tidak selalu pada waktu yang sama. (contoh 29 sya'ban ijtimak jam 14.05 WIB..... pada bulan Ramadhan ijtimak jam 04.15 WIB)
2. Selang waktu antara ijtimak dan tenggelamnya matahari bukan sebuah variabel yang bisa memastikan terlihatnya hilal karena masih ada faktor lain yaitu elongasi serta posisi lintang pengamat relatif terhadap posisi lintang bulan. semakin jauh semakin tidak terlihat.
Poin pertama berkaitan dengan ILDL (International Lunar Date Line), sementara poin 2 berkaitan dengan variasi visibilitas hilal untuk wilayah bujur yang sama
Rasulullah "mengakomodir" kedua fenomena itu dalam dua kasus:
1. Perintah ru'yat minimal 2 kesaksian
2. Menerima data ru'yat dari pengamat yang berasal dari posisi lain dalam satu wilayah bujur.
Dengan demikian benarlah bahwa
Sungguh Rasulullah tidak kuno dalam ilmu Falak
(Adil Muhammadisa)
tapi kenapa hampir setiap tahun, kesaksian dari cakung selalu ditolak ya?
BalasHapus