Laman

Sidrotun Naim Dokter Udang Indonesia Dari Sukoharjo

Perempuan sederhana dari desa Makamhaji Kartosuro Sukoharjo ini memang dikenal pintar sejak SD. Kini dia menjadi Dokter Udang pertama di Indonesia. Sempat bercita cita sebagai dokter, Sidro atau Naim, begitu dia biasa dipanggil, malah sempat kuliah di jurusan Biologi ITB. Bagaimana ceritanya?




Sebagai perempuan peneliti yang prestasinya diakui internasional, penampilan Sidrotun Naim jauh dari wajah sosok yang serius. Dialognya segar, komunikatif dan menghibur. 

Ibu satu anak kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 27 Mei 1979 ini baru saja meraih beasiswa internasional L'Oreal-Unesco for Women in Science di Paris, Perancis berkat risetnya di bidang penyakit udang. Karena penelitian itulah kini Naim dicandai sebagai ‘dokter udang’.

Padahal, awalnya cita-cita anak ke 7 dari 11 bersaudara ingin menjadi dokter umum. "Cita-cita saya dulu ingin jadi dokter manusia. Tapi nggak kesampaian karena kondisi ketika itu tak memungkinkan. Saat hendak masuk perguruan tinggi, empat kakak saya masih kuliah. Jadi terlalu berat (biaya) untuk masuk kedokteran,” ujar Sidrotun Naim, salah satu peraih L'Oreal-Unesco for Women in Science International 2012 saat wawancara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Naim mengisahkan ketertarikannya  mempelajari penyakit pada udang muncul saat ia bekerja dalam program WWF Indonesia-Aceh sebagai konsultan program kelautan. Kala itu ia bertemu dengan para ahli di berbagai bidang, namun selama di Indonesia ia tidak pernah bertemu dengan ahli patologi udang padahal Indonesia salah satu negara penghasil udang terbesar.

Hal itu ironis mengingat tambak udang adalah salah satu mata pencaharian utama lebih dari 6 juta penduduk di wilayah pesisir Indonesia. 

Hal inilah yang mendorong Naim untuk memfokuskan penelitiannya pada udang agar bisa mengoptimalisasi industri tambak udang.

Perempuan mungil berkerudung yang mendapatkan S2 sebagai Master of Marine Studies dari University of Queensland, Australia ini memiliki keingianan kuat untuk membantu mayarakat melalui sains. Hal ini karena semakin ia mengenal dunia sains maka ia semakin memahami betapa menarik dan dinamisnya dunia ini.

Dalam penelitian yang dilakukan Naim di Harvard Medical School, Boston, AS memfokuskan penelitiannya pada virus yang bisa membunuh hingga 70 persen populasi udang yaitu Infectious Myonecrosis Virus (IMNV). Sisa 30 persen udang yang hidup akan diamati,  termasuk meneliti struktur dan fungsi genetis dari virus IMNV ini termasuk bagaimana virus ini menyerang daya tahan tubuh udang, pola penyebarannya serta faktor eksternal yang terkait seperti suhu air.

Di sisi lain, IMNV memiliki anatomi yang sama dengan rotavirus, penyebab kematian anak balita dengan gejala diare terus-menerus. Oleh karena itu, hasil investigasi ini akan berguna untuk memahami infeksi rotavirus pada anak balita.

Untuk melanjutkan investigasi penyakit pada udang, Naim akan menempuh studi kedokteran di Universitas Harvard, Amerika Serikat.  Lazimnya, studi itu dilaksanakan pada program studi biologi atau budidaya kelautan, bukannya kedokteran.

Perihal ini, ternyata ada alasannya. “Itu karena virus yang menginfeksi ternak udang memiliki anatomi sama dengan rotavirus yang menyebabkan kematian kira-kira 600.000 anak balita di dunia setiap tahun, dengan gejala diare,” ujar Naim  yang tengah mengambil program Master Ilmu Lingkungan di Universitas Arizona.

Diakui Naim, untuk menempuh studi di universitas bergengsi seperti Harvard bukanlah perkara gampang. Selain seleksi yang ketat, faktor biaya juga menjadi pertimbangan. Deposit pendidikan per tahun di Universitas Harvard mencapai US$ 40.000, padahal dia membutuhkan dua tahun untuk studinya.

Uang hasil kemenangannya di  ajang internasional L'Oreal-Unesco for Women in Science sebesar US$ 40.000 membantu meringankan biaya, sisanya diperolehnya dari sponsor lain, yaitu Fullbright dan perusahaan pengeboran minyak Schlumberger.

Penelitian Naim akan melengkapi hasil penelitian sebelumnya tentang pengendalian penyakit white spot syindrome virus (WSSV) pada udang yang dialkukan di Universitas Arizona selama dua tahun terakhir.

Dari hasil penelitiannya di Universitas Arizona, Naim menemukan infeksi WSSV pada udang dapat dikendalikan. Caranya, menerapkan sistem polikultur paa budidaya udang yang sudah diterapkan sebelumnya di salah satu lembaga penelitian di Jawa Timur. Ternak udang dipelihara dalam satu kolam bersama ikan nila, ditambah rumput laut untuk meningkatkan nilai ekonomi.

"Temuan ini hasil observasi saya dibantu pembimbing saya, Profesor Kevin Fitzsimmons, ahli ikan nila di Universitas Arizona," kata ibu dari Elhurr Muthahari (6) yang mengakui bahasa Inggris anaknya jauh lebih jago dari sang ibu.

Sebelum menjadi peneliti yang diakui internasional dan mendapatkan kesempatan langka mengecap pendidikan bergengsi universitas terkemuka dunia yang dipilihnya, perjalanan Naim boleh dibilang berwarna. Awalnya Naim ingin kembali ke almamaternya di ITB setelah lulus master of marine studies dari Universitas Queensland, Australia, tahun 2005. Dasar bukan jodoh, lamarannya ditolak dengan alasan posisi dosen ITB sudah penuh. Naim akhirnya menjadi guru SD dan SMA di Bandung.

Hampir setahun profesi sbagai guru ditekuni Naim. Di tahun berikutnya, ia diajak kawannya memberikan pendampingan kepada petambak udang korban tsunami di Aceh. Itulah titik yang menentukan perkenalan Naim dengan udang.

Naim mengenang, pada 2007  ia bersama petambak setempat mengelola lahan tambak udang. Hasilnya cukup baik dan bisa bertahan hingga tahun 2008. NAmun, tahun 2009 udang hasil budidaya mereka diserang penyakit WSSV sehingga produksinya anjlok.

Petambak ketika itu bertanya harus berbuat apa untuk mengatasi hal itu. Ketika itu Naim tak memiliki jawaban. Kemudian seorang petambak meminta Naim mempelajari penyebab penularan penyakit pada udang. 

Sejumlah kolega dia hubungi untuk memperoleh rekomendasi terkait ahli yang dapat dimintai nasihat. Sampai Naim menemukan jalan melamar sebagai mahasiswa program master ilmu lingkungan di Universitas Arizona.

"Lamaran saya sebagai mahasiswa di universitas itu langsung direspons Profesor Kevin Fitzsimmons, yang  menjadi pembimbing saya selama menempuh studi," kata Naim yang mengaku terinspirasi menempuh pendidikan di luar negeri berkat sang ayah, Abidullah, guru agama Islam yang pernah mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri di bidang ekonomi.

Maka, pergilah ia ke Arizona bersama suaminya, Dedi Priadi dan anaknya, Elhurr. Suaminya Priadi pun menempuh pendidikan strata II ilmu psikologi di Universitas Arizona. “Saya ini istri yang paling dicintai suami. Sebab bisa membawanya ke luar negeri dan dia bisa sekolah lagi,” ujar Naim dengan nada bercanda.

Naim menambahkan, studi di Harvard itu nantinya akan meneliti virus, meningkatkan produksi petambak, juga untuk menghalau importir nakal yang mengimpor udang terkontaminasi virus. Hasil penelitian ini diharapkannya dapat melindungi spesies endemik biota laut di Indonesia sehingga tak mudah dibawa dan diteliti peneliti asing di luar negeri.

Naim berharap hasil penelitiannya ini bisa membantu para penambak udang dalam menemukan solusi budidaya udang dengan lebih baik. Ia bertekad akan kembali ke Tanah Air, untuk bisa membangun laboratorium penelitian udang pertama di negara ini.

Program L’OrĂ©al-UNESCO For Women In Science menampilkan karya-karya sains perempuan yang memberikan kontribusi nyata dalam menemukan solusi efektif dan terjangkau bagi masa depan perekonomian negaranya dan dunia. Dari udang dan tiram, hingga teripang dan tanaman obat, para Fellows For Women In Science Internasional 2012 berjuang untuk mencapai keseimbangan sosio-ekonomis dan sumber daya alam. (foto: doc L'Oreal).

1 komentar:

  1. kalau dokter bandeng ada gak?
    untuk tambak ikan bandeng biar bandenganya sehat?

    BalasHapus

Artikel Ini Bagus (Good) atau Jelek (Bad)? Please Comment here